ADAT MENYAPAT TAHUN DAYAK BERIAM

Oleh : Marterinus,SH ( Pemerhati Adat & Kebudayaan Dayak Jelai )
 
Adalah sebuah ritual khusus yang dilaksanakan oleh suku dayak beriam sewaktu akan dimulainya musim tanam (berladang). Oleh sebagian besar suku dayak beriam, menyampat tahun merupakan hari yang dinanti-nantikan karena setelah sekian lama mereka istirahat mereka dapat membuat ladang kembali. Menurut salah satu tokoh adat dayak beriam (Alm. Maurum) yang pernah saya tanyai, menyapat tahan (gandang menyapat tahun) bukan hanya sebatas ritual dimulainya musim tanam atau berladang, melainkan melalui ritual ini juga terkandung nilai-nilai spiritual baik sebagai tanda bersyukur atas hasil panen pada tahun yang lalu maupun sebagai rituak untuk meminta ijin kepada Duatak (Tuhan) agar hasil panen mereka dapat melimpah kembali dan segala kesialan/hama penyakit pada tahun tersebut dihindarkan.
Ritual menyapat tahun biasanya dilaksanakan setiap tahun sekali setelah musim panen selesai dan akan dimulainya musim tanam kembali. Ritual ini biasanya dilaksanakan selama 3 (tiga) hari termasuk didalamnya gandang meminggan baras sebagai hari terakhir dilaksanakannya ritual tersebut. Bahan-bahan sebagai alat yang digunakan untuk melaksanakan ritual adapt tersebut terdiri dari nasi ketan (lakatan), tuak, beras biasa (baras padi karas), kuning hidup-hidupan, baras kuning, basi/pisau dan mangkok batu (mangkok kuno).
Pemimpin ritual adat untuk melaksanakan ritual tersebut biasanya berasal dari tokoh adat setempat (temanggung/temenggung, damung/demang, belian) dan dari tokoh masyarakat adapt sekitar yang diminta oleh para tokoh adat tersebut untuk mendampingi mereka. Masyarakat adat sendiri biasanya diminta untuk mengumpulkan beras (cupak baras) sebagai bentuk partisipasi adat yang nantinya akan mereka simpan dirumah setelah ritual adapt tersebut berakhir dan sebagian digunakan untuk melaksanakan ritual adat menyapat tahun tersebut.


Zaman Perjuangan Suku Dayak

Pakat Dayak

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, pada tahun 1937, generasi muda Kalimantan yang telah mengenyam pendidikan formal, mengerti dan mengikuti perkembangan zaman, mengadakan pertemuan untuk membicarakan segala sesuatu mengenai urusan suku Dayak dan urusan tanah Dayak sendiri. Pertemuan ini diadakan karena mereka merasa prihatin akan situasi dan keadaan masyarakat sukunya. Dalam segala raad-raad atau komite-komite yang diadakan oleh pihak pemerintah Belanda, ataupun pihak partikulir, orang-orang dari suku Dayak tidak pernah diberi kesempatan untuk duduk di situ, walau kenyataannya poin pembicaraan adalah urusan tanah Dayak sendiri. Wakil Kalimantan di Volksraad Pejambon, juga tidak memberikan perhatian sehingga keinginan rakyat Dayak tidak pernah terdengar sampai Pejambon.

Kemudian didirikan suatu komite yang diberi nama Komite Kesadaran Suku Dayak. Tujuan utama pendirian ialah untuk menuntut hak dan kedudukan dalam Sidang Dewan Rakyat serta mengobarkan semangat suku Dayak akan nasib tanah airnya. Komite ini telah mengumpulkan beribu-ribu tanda tangan dari seluruh suku Dayak, baik yang berdomisili di Kalimantan, maupun yang sedang merantau, untuk meminta kedudukan dalam Dewan Rakyat yang disampaikan kepada Pemerintah Agung.

Maksud dan Tujuan Pendirian Pakat Dayak

Maksud dan tujuan pendirian Pakat Dayak, seperti tersebut dalam Anggaran Dasar, pasal 2 dan 3, adalah sebagai berikut:

Pasal 2
Dasar

Perhimpunan ini berdasar pada persatuan suku Dayak dengan mengindahkan persamaan hak dan kewajiban. Maksud persatuan ini ialah penggabungan seluruh suku Dayak, hingga merupakan satu golongan yang besar dan teratur.

Pasal 3
Tujuan

a. Mengejar ketinggalan derajat suku, baik dalam soal politik, sosial dan ekonomi.
b. Persatuan seluruh suku Dayak
c. Mengejar segala hak-hak yang diakui oleh Hukum Negara.
d. Mempertinggi kembali Adat Leluhur, serta Kebudayaan Suku.

Terlihat dari pernyataan tersebut bahwa perhimpunan Pakat Dayak bukan perhimpunan keagamaan, sehingga siapapun yang merasa seorang Dayak berhak menjadi anggota.
Dalam usianya yang keempat, Pakat Dayak telah beranggotakan empat ribu lima ratus orang. Cabangnya tersebar di Dusun Timur, Barito, Kapuas, Kahayan, Samarinda, Pontianak, Katingan, Mentaya, Pangkalan Bun, Sebangau, Seruyan, bahkan dua cabang berada di Jawa. Dalam waktu singkat, Pakat Dayak telah mampu membangun 9 buah sekolah serta berpuluh-puluh warung kecil.

Sumber : Buku Maneser Panatau Tatu Hiang - Karya Tjilik Riwut

Ikatan Pelajar Borneo & Himpunan Mahasiswa Dayak Semarang
http://www.sapeborneo.com | http://www.himdas.com

Tujuan dan Tahapan Upacara Adat Naik Dango (Dayak Kanayatn)

Oleh : Yohansen J. Ismail, SE

" Adil ka' talino ba' curamin ka' saruga ba' sengat ka' Jubata"
~MAMUT MENTENG UREH UTUS KU ISEN MULANG JETE PENYANGKU~

Tujuan Upacara Adat Naik Dango adalah mengadakan pesta selamatan atas karunia yang diberikan oleh Jubata. Upacara Adat Naik Dango merupakan ungkapan syukur atas keamanan, kesehatan dan hasil panen padi yang melimpah, selain berusaha mencari terobosan baru sebagai usaha meningkatkan hasil pertanian pangan.1

Berbagai tahapan dalam Upacara Adat Naik Dango, yaitu pertama: sebelum hari pelaksanaan (hari H) terlebih dahulu diadakan pelantunan mantra (nyangahathn), yang disebut “Matik”. Tujuannya ialah memberitahukan dan memohon restu kepada Jubata bahwa besok akan diadakan pesta Adat. Kedua: pada hari H, dilaksanakan tiga kali nyangahathn, pertama nyangahathn di “Sami” (ruang tamu), yaitu memanggil jiwa atau semangat padi yang belum kembali agar datang atau pulang kembali ke rumah adat. Kedua nyangahathn di “Baluh atau Langko” (di lumbung padi) tujuannya yaitu untuk mengumpulkan semangat padi di tempatnya yaitu di lumbung padi. Ketiga nyangahathn di pandarengan (sejenis tempanya tempat menyimpan beras) tujuannya yaitu berdoa untuk memberkati beras agar dapat bertahan dan tidak cepat habis.

Nyangahathn juga dapat disebut sebagai tata cara utama ekspresi religi suku Dayak. Nyangahathn menjadi bagian pokok dalam setiap bentuk upacara, dengan urutan tahapan yang baku, kecuali bahan, jumblah roh-roh, para Jubata yang diundang. Dari segi tahapan nyangahathn terbagi menjadi empat tahapan yakni Matik, Ngalantekatn, Mibis, dan Ngadap Buis.

1. Matik.
Matik bertujuan untuk memberitahukan hajat keluarga kepada “awa pama” (roh leluhur), yaitu mengundang mereka yang sudah meninggal di mana arwah mereka masih bergentayangan di sekitar pemukiman mereka, agar mereka datang untuk menyaksikan Adat Naik Dango.

2. Ngalantekatn
Ngalantekatn bertujuan untuk memohon agar semua anggota keluarga yang terlibat dalam Upacara Adat Naik Dango ini selamat dan tidak terjadi malapetaka yang menimpa mereka. Karena biasanya upacara Adat ini memakan koraban jiwa (tumbal).

3. Mibis
Mibis bertujuan agar segala dosa atau kotoran dilunturkan, dilarutkan, dan diterbangkan dari keluarga dan dikuburkan sebagaimana matahari terbenam kearah barat. Atau sejauh timur dari barat demikian jubata akan membuang dosa-dosa mereka.

4. Ngadap Buis
Ngadap Buis adalah tahapan penerimaan sesajian dari manusia kepada awa pama dan jubata, dengan tujuan ungkapan syukur dan memperoleh berkat atau pengudusan terhadap segala hal yang kurang berkenan, termasuk pemanggilan jiwa orang mati agar tenang dan tentram.

Dilihat dari kodisi bahan yang digunakan, tahap pertama sampai ketiga disebut “ Nyangahathn Manta” yakni nyangahathn dengan bahan-bahan yang belum masak(mentah), sedangkan ngadap buis disebut “Nyangahathn Masak” yakni nyangahathn dengan bahan-bahan yang sudah masak. Sebenarnya ada nyangahathn dalam bentuk sederhana, yakni doa pendek dengan sesajian sederhana: nasi, garam dan sirih yang sudah masak (kapur, sirih, gambir, tembakau, dan rokok dari daun nipah) nyangahathn sederhana ini disebut “ Babamang”.2

________________________________________________________
Sumber :
1 Surat Kabar Harian , Akcaya. Pontianak, 29 April 1994.
2 Ivo Herman, Gawai Dayak dan Fanatisme Rumah Panjang Sebagai Penelusuran Identitas, Pontianak: UNTAN (2001). Hlm. 293.

RESPON BUDAYA LOKAL

Apakah anda pernah melihat gambar gedung DPRD Kaltim?Menurut saya gedung tersebut sangat menarik baik dari aspek arsitektur maupun dari aspek budaya karena mencerminkan langsung budaya lokal yang ada di daerah bersangkutan yaitu Budaya Dayak. Pertanyaan saya bagaimana dengan Kalbar, Kalteng dan Kalsel? Karena jika saya melihat/memperhatikan seolah budaya lokal di tiga daerah tersebut tidak pernah “diperhatikan”? Dan kalau benar demikian, mengapa? Apakah karena kita sendiri yang tidak pernah peduli dengan kebudayaan kita (Dayak), atau karena kita tidak “berdaya”? Lalu mengapa kita tidak berusaha membangun dan memperkenalkan budaya kita? Apakah karena takut dibilang “primitive” atau karena sebab lain?

Saya rasa sudah saatnya kita semua bertanya pada diri kita dan melihat fakta yang ada, karena jika tidak maka bukan tidak mungkin budaya lokal tidak akan pernah diperhatikan, karena kenyataan ada didepan mata kita bahwa kita (orang Dayak) memang “tidak diperhatikan”, baik dari aspek pendidikan, sosbud, politik, ekonomi dan kesejahtraan maupun dari berbagai aspek kehidupan lainnya. Lingkungan disekitar kita diobrak-abrik dan dihancurkan begitu saja, tanpa pernah mereka sadari bahwa disitu ada kita (orang Dayak), tanpa pernah mereka berpikir kalau kita juga manusia yang harus diperhatikan sama seperti yang lainnya, namun sudahkah kita “diperhatikan”? Saya katakan sesunguhnya kita “tidak pernah diperhatikan” karena ada begitu banyak anak-anak Dayak yang tidak dapat melanjutkan sekolah bahkan menginjak dan merasakan pendidikan di sekolah dasar apalagi untuk mengenyam pendidikan di bangku sekolah menengah atau mungkin perguruan tinggi dan begitu banyak Mahasiswa/i Dayak yang ingin melajutkan pendidikan, tetapi harus gagal ditengah jalan karena keterbatasan biaya disamping faktor lainnya.

Mungkin kita harus melihat dan menghitung kembali seberapa banyak sekolah (SD, SLTP, SMA) yang berdiri tegak di Kampung kita, kita perlu menghitung dan melihat kembali bagaimana kita harus berjuang untuk sekolah, dan berjuang merasakan bangku sekolah, kita harus melihat kembali berapa banyak tenaga pengajar/pendidik orang kita dan kita juga perlu melihat kembali bagaimana kita diperlakukan ditanah kelahiran kita sendiri. Sudahkah kita diberi kesempatan yang sama atau mungkin sudahkah kita dapat merasakan bangku sekolah dengan nyaman dan berkualitas, tidak melewati jalanan yang berlumpur dan berlobang, tidak melewati jalanan yang tidak beraspal dan berdebu? Jawabnya adalah Tidak, Masih banyak “penderitaan” yang kita rasakan yang seharusnya tidak lagi kita rasakan diera serba modern ini, tetapi apa, kenyataannya kita tidak pernah diberikan kesempatan untuk itu, karena kita sengaja dibiarkan merasakan semua penderitaan itu. Bagi para pembaca atau yang kebetulan membaca tulisan ini, anda boleh melihat sendiri faktanya, berjalanlah ke perkampungan dan desa-desa atau kecamatan di kampung-kampung orang Dayak, lihatlah dan saksikanlah maka anda akan dapat melihat di sana tidak ada Sekolah Dasar, Puskesmas, Sarana-Prasarana Transportasi yang memadai, Jalanan beraspal, Pelayanan Public, Penerangan dan banyak lagi lainnya. Lihatlah karena dengan demikian anda akan tahu betapa tidak ada “perhatian” buat orang Dayak.

PENANGKAPAN PERWAIKILAN PETANI SAWIT DI KEC.MANIS MATA-KALBAR


Sungguh sangat memprihatinknan nasib yang dialami beberapa orang perwakilan petani sawit di kecamatan Manis mata, Kalbar karena hanya gara-gara ingin memperjuangkan nasib para petani sawit tersebut, mereka harus berurusan dengan anggota Polsek Manis mata, kabupaten Ketapang-Kalbar. Mencuatnya permasalahan jual-beli kavlingan sawit di kecamatan Manis mata, Kabupaten ketapang-Kalbar, sebenarnya bukan merupakan masalah baru.
Pada umumnya, masyarakat di kecamatan manis mata sudah terbiasa dengan permasalahan itu, karena sengketa perkebunan kelapa sawit sudah ada sejak awal pembukaan perkebunan sawit. Sengketa perkebunan sawit berawal dari sengketa terhadap tanah warga secara ilegal (melawan hukum) yang dijadikan perkebunan sawit yang berujung pada beberapa kasus seperti pembakaran perkebunan karet masyarakat adat dan kasus pembalakan tanah adat untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit sampai pada sengketa jual-beli kavlingan sawit yang baru-baru ini terjadi.
Pembangunan perkebunan kelapa sawit di kecamatan Manis mata, sejak awal sudah mengalami penolakan baik dari para kepala adat maupun dari masyarakat karena mereka sudah menduga masalah seperti sekarang (sengketa jual-beli kavlingan) bakal terjadi. Selain alasan itu, para kepala adat selaku pemegang kedaulatan masyarakat adat merasa bahwa kehadiran perkebunan sawit hanya akan merusak tanah air (tanah adat). Dengan alasan itu, mereka mengambil kesepakatan untuk menolak perusahaan sawit di kecamatan manis mata saat itu.
Merasa karena kebijakan kepala adat didukung oleh sebagian besar warga di daerah Manis mata, pihak perusahaan kemudian melakukan ”perlawanan”, dengan mengatakan bahwa mereka memilikiijin usaha sampai pada usaha pendekatan kepada beberapa orang warga yang kontra terhadap kebijakan para kepala adat mereka. Dengan berbekal keahlian, kemampuan dan kelicikan yang mereka miliki, para warga yang kontra terhadap kebijakan kepala adat melakukan perlawanan kepada kepala adat mereka bahkan terkadang mereka menentang kebijakan kepala adat dengan berbagai alasan dan tujuan.
Namun, para kepala adat tidak begitu saja menerima alasan-alasan yang dikemukaan oleh warga yang kontra terhadap kebijakan adat yang merekabuat bahkan mereka (kepala adat) rela melakukan apapun, asalkan adat-istiadat dan tanah adat tidak dikuasai oleh perusahaan. Sebagian dari mereka bahkan ada yang sampai meninggal dunia tidak pernah merelakan tanah adat dijadikan perkebunan sawit. Secara pribadi, saya salut dengan kemampuan berpikir, keteguhan dan sikab para kepala adat dalam mempertahankan tanah adat dan adat-istiadat dayak, karena apa yang mereka khawatirkan pada saat itu kini jadi kenyataan.
Melihat berbagai permsalahan yang sedang terjadi terkait dengan jual-beli kavlingan sawit yang berujung penangkapan terhadap beberapa orang perwakilan petani sawit di kecamatan manis mata beberapa waktu lalu. Saya berharap pemerintah daerah (Pemada) Kabupaten Ketapang dapat memberikan perhatian secara serius, karena bukan tidak mungkin kejadian yang baru saja dialami oleh para perwakilan petani sawit tersebut menimbulkan keresahan dalam masyarakat terkait penangkapan yang dilakukan oleh anggota polsek manis mata beberapa waktu yang lalu meskipun kemudian mereka dilepaskan.
Pemerintah daerah, tidak bisa menyerahkan penyelesaian sengketa jual-beli kavlingan sawit hanya pada pihak penjual dan pembeli, karena munculnya gugatan para perwakilan petani sawit tersebut salah satunya karena diterbitkannya surat himbauan dari pemda (bupati) ketapang. Selain itu, saya juga berharap pemda dapat menjadi ujung tombak yang bisa menjamin ketertiban dan keamanam warga di sana, jangan sampai warga merasa was-was untuk melakukan kegiatan yang dapat mengganggu aktivitas mereka.
Menurut saya, penangkapan perwakilan petani sawit beberapa waktu lalu akan berdampak psikologis pada masyarakat bahkan bisa menimbulkan was-was bagi warga dalam mengungkapkan pendapat mereka. Oleh karena itu, saya berpesan dan berharap agar aparat penegak hukum (kepolisian) yang bertugas di polsek manis mata dapat menjaga ketertiban dan melindungi masyarakat, mengayomi dan melayani masyarakat dengan baik sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang dan kode etik kepolisian.

PANEMBAHAN ATUK KAYA


BY : MARTE

Atuk Kaya'k (Atuk Bunsu) adalah seorang panembahan dari suku dayak yang pernah menjadi raja di eranya. Beliau (Atuk Kaya'k) meninggal dunia dalam perantauan karena ingin menghindarkan anak-cucunya dari kejaran LANUN (penjahat besar). Menurut seorang tokoh dayak yang kebetulan bercerita kepada saya waktu di Yogyakarta, panembahan Atuk Kayak merupakan orang yang sangat bijaksana dan berani. Selain itu ia juga seorang pemberani, namun karena alasan ingin menyelamatkan anak-cucunya, pada saat Lanun memasuki daerahnya ia melarikan diri (keluar) dari wilayah kekuasaannya. Ia khawatir kalau ia (Atuk Kaya'k) tetap bertahan di wilayahnya, anak-cucunya akan dibunuh oleh Lanun.
Tanpa pikir panjang, Atuk kaya'k mengasingkan diri dari kejaran lanun. Ia bermaksud setelah ia menemukan tempat tinggal bagi anak-cucunya ia akan kembali ke daerah yang ia kuasai. Namun, malang sebelum ia bisa kembali ke daerah kekuasaannya ia sakit dan meninggal dunia dalam perjalanan sehingga cita-citanya utuk mengusir lanun (Penjahat/perampok) di wilayah kekuasaannya tidak berhasil dilakukannya.
Oleh keturunan Panembahan Atuk kaya'k (Maurum), karena cita-cita kakeknya tidak bisa diwujudkannya dan menghindari kejaran Lanun, maka gelar kebangsawan Atuk Kayak di sembunyikan alias tidak di pakai. Beliau (Maurum) berpendapat, dengan tidak di pakainya gelar kebangsawanan dari kakeknya (Atuk Kaya'k) maka anak cucu dan keturunan dari panembahan atuk kayak dapat terhindar dari pengejaran oleh kelompok lanun.

KESENIAN BEKULINANG ALA DAYAK BERIAM

Bekulinang

Oleh : Marterinus, SH

Kuliang adalah alat musik tradisional yang berasal dari suku dayak beriam. Alat musik kulinang umumnya terbuat dari logam/kuningan. Selain dari logam/kuningan, alat musik kulinang juga bisa di buat dari bilah kayu yang di bentuk sedemikian rupa sehingga bunyinya bisa menyerupai alat musik kulinang yang terbuat dari logam/kuningan. Alat musik kulinang biasanya di mainkan oleh satu orang dengan cara di pukul.

Umumnya, alat musik kulinang dimainkan pada upacara/ritual-ritual adat dan kawinan/pernikahan. Bunyi yang dihasilkan alat musik ini jenisnya bermacam-macam, biasanya ditentukan berdasarkan upacara yang sedang dilaksanakan pada saat itu. Orang yang bisa memainkan alat musik ini disebut pekulinang, sedangkan istilah bekulinang digunakan untuk sebutan orang yang diminta untuk memainkan alat musik kulinang.

Alat musik kulinang yang terbuat dari logam/kuningan biasanya disebut dengan kulinang, sedangkan alat musik kulinang yang terbuat dari bilah kayu disebut dengan gambang. Jenis kayu yang digunakan untuk memukul alat musik kulinang biasanya terbuat dari kayu yang berkontur lembut seperti kayu kampul, bisa kayu madang, pulai, jelutung dan beberapa jenis kayu lainnya yang tergolong dalam jenis/species kayu kampul (kampul; bahasa dayak beriam).


Nb : boleh di copy paste, tapi tdk boleh diperdagangkan atau diperjual belikan demi meraup keuntungan (bisnis) tanpa se-izin dari penulis, terima kasih. Untuk konfirmasi, silahkan kirimkan e-mail ke: strongman_mart@yahoo.com

MENGENAL ADAT BERAYAH DAYAK BERIAM

Marterinus, SH

Ritual berayah/bebalian merupakan sebuah ritual yang dilakukan oleh suku dayak beriam untuk mengobati orang sakit. Tujuan dariritual berayah sendiri adalah untuk menyembuhkan orang yang sakit dari berbagai gangguan penyakiit, baik penyakit yg disebabkan oleh alam/kekuatan magis maupun sakit yang ditimbulkan akibat pengaruh lain, misalnya guna-guna/santet yang sengaja dikirimkan oleh orang lain yang bermaksud menyakiti korbannya.

Menurut kepercayaan dayak beriam, belian dalam hal ini dipercaya dapat menyembuhkan orang yang sakit karena menurut kepercayaan mereka belian/dukun dianggap memiliki kemampuan untuk menemukan sumber penyakit yang menyebabkan orang tersebut sakit serta dapat membawa pulang semangat orang yang sakit tersebut. Menurut kepercayaan mereka (dayak beriam) belian dapat melakukan perjalanan sampai kedunia orang mati yang biasa disebut subayan (surga).

Untuk bisa melakukan perjalanan ke subayan tersebut, bisanya seorang belian cukup ditemani bunyi-bunyian yang seperti suara gandang (gendang), ketabung (gendang kecil) dan tetawak yang memiliki cirri khas bunyi tersendiri. Seorang belian dapat dianggap pendani (pandai) jika belian tersebut memiliki kemampuan untuk menyembuhkan berbagai penyakit dan memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan roh para leluhur yang sudah meninggal bahkan dengan roh halus. Belian yang demikian biasanya meskipun tidak sedang menjalankan ritual berayah/bebelian, ia dapat melihat roh-roh halus dan roh para leluhur.

Semakin seorang belian dianggap pendani maka semakin sering juga belian tersebut dipanggil untuk mengobati warga yang sakit bahkan sampai kebeberapa kampung atau kabupaten di daerahnya. Selain bahan-bahan ritual yg telah disebutkan di atas, untuk bisa mengadakan ritual berayah, keluarga korban yang sakit juga biasanya menyiapkan tampung tawar, tuak, beras ketan dan beras biasa, besi/parang dan lainnya. Sedangkan untuk mengundang belian sendiri biasanya mereka mengirimkan cupak baras (semacam tempat penyimpanan barang yang terbuat dari anyaman isi bambu/kinjil) yang berisi beras dan uang.

Beras/uang tersebut merupakan salah satu prasyarat undangan terhadap belian yang ingin didatangkan oleh keluarga korban/yang mengalami sakit. Setelah ritual berayah/bebelian selesai biasanya keluarga korban juga memberikan sejumlah uang atau beras kepada belian yang bersangkutan sebagai ucapan terima kasih juga ada juga yang digunakan sebagai pekaras (syarat scr adat) agar pengobatan yang dilakukan oleh belian tersebut berhasil membuahkan kesembuhan terhadap korban yang sakit (mengasik; manjur).

ADAT MENYAPAT TAHUN DAYAK BERIAM

Adalah sebuah ritual khusus yang dilaksanakan oleh suku dayak beriam sewaktu akan dimulainya musim tanam (berladang). Oleh sebagian besar suku dayak beriam, menyampat tahun merupakan hari yang dinanti-nantikan karena setelah sekian lama mereka istirahat mereka dapat membuat ladang kembali. Menurut salah satu tokoh adat dayak beriam (Alm. Maurum) yang pernah saya tanyai, menyapat tahan (gandang menyapat tahun) bukan hanya sebatas ritual dimulainya musim tanam atau berladang, melainkan melalui ritual ini juga terkandung nilai-nilai spiritual baik sebagai tanda bersyukur atas hasil panen pada tahun yang lalu maupun sebagai rituak untuk meminta ijin kepada Duatak (Tuhan) agar hasil panen mereka dapat melimpah kembali dan segala kesialan/hama penyakit pada tahun tersebut dihindarkan.

Ritual menyapat tahun biasanya dilaksanakan setiap tahun sekali setelah musim panen selesai dan akan dimulainya musim tanam kembali. Ritual ini biasanya dilaksanakan selama 3 (tiga) hari termasuk didalamnya gandang meminggan baras sebagai hari terakhir dilaksanakannya ritual tersebut. Bahan-bahan sebagai alat yang digunakan untuk melaksanakan ritual adapt tersebut terdiri dari nasi ketan (lakatan), tuak, beras biasa (baras padi karas), kuning hidup-hidupan, baras kuning, basi/pisau dan mangkok batu (mangkok kuno).

Pemimpin ritual adat untuk melaksanakan ritual tersebut biasanya berasal dari tokoh adat setempat (temanggung/temenggung, damung/demang, belian) dan dari tokoh masyarakat adapt sekitar yang diminta oleh para tokoh adat tersebut untuk mendampingi mereka. Masyarakat adat sendiri biasanya diminta untuk mengumpulkan beras (cupak baras) sebagai bentuk partisipasi adat yang nantinya akan mereka simpan dirumah setelah ritual adapt tersebut berakhir dan sebagian digunakan untuk melaksanakan ritual adat menyapat tahun tersebut.



Profil Panembahan "ATUK KAYAK"

Oleh : Marterinus, SH
Tidak terasa sudah 13 tahun berlalu kepergiannya. Akankah ia kembali? Jawabnya tidak, karena beliau (Alm. Maurum) kembali dalam arti yang sebenarnya. Semasa hidupnya, ia sangat gigih mempertahankan adat-istiadat di kampung halaman yang dipimpinnya bahkan terkesan “keras”, begitu kata anak cucu dan orang-orang yang seusia beliau mengenang. Bagi sebagian besar orang, Alm Maurum (cawat maurum ; kakek), merupakan sosok yang tegas, berwibawa dan “tak pandang bulu”. Bagi beliau, adat adalah jiwanya dan adat adalah kehidupannya, sehingga tidak ada alasan pembenaran satupun terhadap pelanggaran adat. Siapa yang bersalah harus di hukum (di beri sanksi) dan siapa yang melanggar adat harus membayar adat, tidak perduli apakah ia anak kecil, orang dewasa, keluarga miskin, keluarga kaya, anak maupun cucunya sendiri.

Bagi beliau (cawat Maurum), hukum adalah hukum dan keluarga adalah keluarga, sehingga tidak ada satupun kesalahan/pelanggaran adat dapat ditolerir dengan dalih yang melakukan kesalahan itu adalah anak cucunya atau karena alasan anak kecil, orang dewasa, orang tua, kaya dan miskin. Bagi beliau siapa yang bersalah/melanggar adat, maka ia harus membayar adat dan siapa yang membuat orang sakit maka ia juga harus bersedia menerima kalau disakiti. Oleh karena itu, beliau selalu berpesan, “jika tidak ingin disakiti jangan menyakiti dan jika tidak ingin dihukum jangan melanggar hukum” demikian selanjutnya. Bagi beliau ada sebab ada akibat demikian sebaliknya.

Namun semenjak meninggalnya beliau, hukum adat di desa beriam seolah “tidak bertaring”. Hukum tinggal hukum dan adat tinggal adat, sehingga berbagai pelanggaran adat terjadi hampir dalam setiap aspek kehidupan masyarakat adat beriam. Dari mulai pelanggaran berskala kecil sampai pelanggaran yang berskala besar, seperti pelanggaran hak-hak adat oleh pihak asing. Mereka (pihak asing) tidak lagi takut untuk menebang pohon sembarangan, meracunan ikan dengan tuba, membakar hutan adat bahkan melakukan pembakaran di areal tanah/patok/pancang yang sudah ada pemiliknya. Mereka tidak lagi takut akan hukum adat/sanksi adat dari kepala adat (temanggung & damung), bahkan terkesan melecehkan adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat adat tersebut.

Jika mereka dipanggil oleh tokoh-tokoh adat (temanggung, damung) dan beberapa tokoh masyarakat lainnya mereka menghindar dengan alasan sibuk dan punya kepentingan lainnya, sampai pada akhirnya para tokoh adat berhenti memanggil mereka. Adakalanya bahkan mereka yang mengajak para tokoh adat tersebut untuk bertemu melalui perwakilan, yang pada akhirnya berujung pada perdamaian dan perjanjian secara lisan, namun terkesan “lain dimulut lain dikelakuan”, artinya apa yang mereka suarakan pada saat itu tidak sama dengan tingkah laku/perbuatan mereka.


Sebagai warga dayak, saya sangat prihatin melihat situasi dan kondisi seperti ini. Dan saya sangat sedih melihat “Hukum Adat Dayak dipermainkan mereka”. Bahkan tokoh-tokoh adat dibuat “tidak berkutik”. Dari mulai tingkatan/hierarki tertinggi sampai yang terendah mereka buat tidak bisa berbuat apa-apa. Saya masih ingat, bagaimana saya dan abang saya (Hadian) sejak masih kecil sekitar kelas 3 SD dihukum kakek. Beliau menghukum kami, gara-gara kami berdua meracun ikan diselokan menuju pemandian. Kami berdua dihukum sebanyak tiga lasak atau setara 30.000,- pada saat itu (sekitar tahun 1988).

Dari pengalaman di atas, bisa kita bayangkan, bagaimana seorang kakek sendiri yang notabene adalah kakek kandung, seorang temanggung adat tega menghukum cucunya sendiri. Bisa dibayangkan, bagaiman tegasnya beliau dan kegigihan beliau mempertahankan adat/hukum adat dayak beriam. Beliau tidak pernah memandang siapa saya dan abang saya (cucu beliau sendiri), siapa ayah/ibu saya dan abang saya dan beliau tidak melihat karena saya dan abang saya adalah cucu beliau, jadi tidak perlu dihukum/diberi sanksi adat. Bagi saya, pengalaman ini sangat menarik dan berkesan karena belum pernah saya menemukan orang yang seperti beliau bahkan ayah saya sendiri.


Perbedaan antara ayah saya (Putra bungsu Alm. Kakek Maurum) dengan kakek sangat jelas terlihat. Hal ini dapat terlihat jelas, dimana “ayah saya lebih suka memberikan nasehat dan teguran jika saya melakukan kesalahan, tetapi kakek langsung menghukum saya, jika saya melakukan kesalahan, hal ini berlaku bagi semua warga masyarakat yang dilindunginya. Bagi kakek, maaf adalah harga yang “sangat mahal” sehingga untuk bisa mengatakan maaf maka orang yang melakukan kesalahan harus membayarnya dengan harga mahal juga (dalam kontek adat/adat jalan jamban titi). 

Baginya, maaf hanya akan dapat dihapus jika warga yang melakukan pelanggaran adat sudah membayar sanksi adat yang ia putuskan berdasarkan keputusan adat yang sudah menjadi ketetapan seluruh masyarakat adat dayak, khususnya adat dayak air durian (tanah tuha/tua).


Jika kita amati dan baca satu persatu kalimat demi kalimat di atas, sungguh sangat indah dan bermakna. Bermakna karena pengalaman hidup beliau yang selamanya akan dikenang dan selamanya akan jadi cermin bagi kita generasi dayak berikutnya, hingga terus dan terus berlanjut sampai kapanpun. Sebagai cucu beliau, tentu saya bangga punya seorang kakek yang tegas, berwibawa, taat menjalankan adat-istiadat dan berani mengambil tindakan yang tidak semua orang berani untuk melakukannya. Sebagai orang dayak, anda tentu bisa membayangkan bagaimana kehidupan masyarakat dayak kala itu. “Setetes darah yang tertumpah akan menumpakkan setetes darah dari yang menumpahkan juga dan semakin tegas kepemimpinan seseorang maka akan semakin sering juga orang mengelabuhinya dengan ilmu hitam, yang sekarang kita kenal dengan santet, guna-guna, ajimat dls.

Terlepas dari semua hal di atas, saya mau menekankan bahwa beliau (Almarhum Maurum) adalah sosok yang seharusnya kita jadikan panutan, yang seharusnya jadi cermin kita sebagai orang dayak, yang sharusnya jadi teladan kita dan “kita”(orang dayak sekarang/dayak modern) harus bangga punya tokoh dayak seperti beliau sekaligus MALU karena kita tidak bisa mempertahkan amanah leluhur kita untuk menjaga “Adat jalan jamban titi” kita sebagai orang dayak. Perlu anda ketahui, beliau adalah salah satu tokoh dayak yang tidak mau menggunakan gelar kebangsawanannya sebagai raja, karena ayah beliau adalah seorang panembahan/raja pada jaman Hindia Belanda. Beliau tidak mau melihat kami (anak cucu beliau) memakai gelar itu selama ia masih hidup. Karena beliau tidak mau kami ikut terpengaruh dengan sikab Ninik yang suka berperang dan selalu menyelesaikan masalah dengan kekuasaan Ninik.


Bagi beliau (Alm. Maurum/kakek), kepribadian Ninik (Ayah dari Almarhum) tidak boleh diwariskan, karena Ninik terkenal sadis dan tidak menyukai diplomasi/penyelesaian masalah dengan cara damai yang dapat merugikan Ninik (Almarhum Panembahan Atuk Kaya alias Atuk Bunsu alias Cawat Bungsu alias Anung alias Adau). Simpanlah semua ini sebagai pengetahuan anda dan sebagai sejarah bahwa “Maurum adalah Maurum bukan Adau, bukan Atuk Kaya, bukan Atuk Bunsu, bukan Cawat Bunsu yang menjabat sebagai Panembahan/Raja pada saat itu”.